Convert Swagger documentation to Postman Collection

The user will be redirected to the below route where swagger documentation JSON will be visible. Just copy the URL address. Thank you for reading. Keep visiting and share this in your network. Please…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Kenapa Harus Kartini?

Indonesia adalah negara yang dibangun di atas jerih payah para pahlawan. Mulai dari pahlawan yang bertumpah darah, pahlawan yang berinovasi, pahlawan yang memimpin, pahlawan yang mendidik, Indonesia punya semuanya. Indonesia adalah negerinya para pahlawan.

Tidak hanya lelaki, wanita pun menjadi pahlawan negeri ini. Darah kepahlawanan memang sudah mengurat nadi dalam tubuh putra-putri bangsa.

Kita mengenal banyak nama pahlawan wanita di Indonesia, mulai dari Malahayati, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Kartini, Christina Martha Tiahahu, Rasuna Said, hingga Ade Irma Suryani Nasution. Semuanya turut membangun bangsa ini dengan peranannya masing-masing. Tapi mengapa hanya Kartini yang punya satu hari peringatan untuk dirinya sendiri? Kenapa harus Kartini yang kita abadikan dalam satu tanggal yang diulang setiap tahunnya? Jika alasannya bahwa Kartini adalah satu-satunya pejuang emansipasi wanita, bukankah Dewi Sartika sudah bisa mendirikan sekolah di saat Kartini baru bisa berkonsep?

Saya sering mendengar alasan politis mengenai peran feminis eropa dalam mempublikasikan pergerakan Kartini. Ini dikaitkan erat dengan gelarnya sebagai pahlawan emansipasi wanita. Alasan politis ini juga sering menjadi dasar untuk menjadikan Kartini sebagai tokoh feminisme dan kemudian dikorelasikan dengan liberalisme barat. Terlebih lagi, Kartini menjalin hubungan baik dengan Nyonya Abendanon yang merupakan wanita asli eropa. Melalui Nyonya Abendanon itulah konsep-konsep idealisme Kartini dipublikasikan ke seluruh dunia. Beberapa tulisan kemudian mendeskripsikan Kartini sebagai antek eropa untuk menghancurkan budaya ketimuran yang sudah diwarisi turun-temurun di Indonesia. Beberapa tulisan lainnya bahkan menyebut Kartini sebagai sosok wanita perusak agama dikarenakan persahabatannya dengan wanita eropa non-muslim yang diiringi konsep kesetaraan hak yang dicetuskannya.

Sekian dulu mengenai apa yang dikatakan orang tentang Kartini, saya mau menceritakan mengenai sosok Kartini yang saya pahami.

Dari beberapa biografi Kartini yang saya baca, beliau adalah wanita bangsawan yang lahir dalam adat yang sangat kental, baik dalam arti positif maupun negatif. Seperti tokoh inovatif lainnya, sisi negatif inilah yang menyebabkan Kartini merasa perlu adanya perubahan di lingkungannya. Kartini hanya mempertanyakan, kalau lelaki dan wanita memang sama-sama manusia, lantas mengapa lelaki menjadi “dewa” bagi wanita? Hanya lelaki yang boleh bersekolah, bersosialisasi, dan berkarya, sementara wanita hanya menjadi sandal bagi lelaki di waktu siang dan selimut di waktu malam bagi lelaki. Kenyataan pelaksanaan adat ini tidak sesuai dengan logika Kartini. Di sisi lain, Kartini mempertanyakan mengapa ibunya yang rakyat jelata harus berlutut di hadapannya hanya karena ayahnya adalah bangsawan? Bukankah wanita itu yang bertaruh nyawa untuk melahirkannya? Hatinya berkata bahwa seharusnya dialah yang berlutut di kaki ibunya itu. Akal sehat Kartini selalu tertantang oleh adat-adat di lingkungannya yang menurutnya tidak adil. Namun dalam adat kolot yang sangat ketat, Kartini tidak punya kuasa untuk melakukan perubahan, dia bahkan tidak punya teman yang mendukung konsep-konsep idealismenya. Hal yang bisa dilakukannya hanyalah menuliskan konsep-konsepnya dan mendiskusikannya dengan teman yang bersedia mendengarnya, kebetulan orang itu adalah Nyonya Abendanon.

Kartini awalnya tidak berniat untuk melakukan pergerakan apapun, dia hanya ingin mengeluhkan ketidakadilan yang dihadapinya atas nama adat. Akal sehatnya tidak bisa menerima mentah-mentah seluruh adat tersebut, banyak hal yang bertentangan dengan logika dan hatinya. Dalam ketidakpahamannya, Kartini menyebut bahwa bangsanya butuh modernisasi. Kartini tidak pernah sekalipun menyebut bahwa dia ingin menyaingi kekuasaan lelaki di pemerintahan atau menyingkirkan lelaki dalam pekerjaan, Kartini hanya mengeluhkan keinginannya untuk bersekolah yang tidak direstui adat. Kartini hanya menginginkan pencerdasan bagi wanita, tidak lebih dari itu. Tidak pernah sekalipun Kartini menyebut emansipasi atau feminisme, entah darimana kata tersebut tercetuskan.

Tidak banyak yang tahu bahwa Kartini adalah seorang muslim. Satu hal yang dipertanyakan Kartini mengenai agamanya adalah mengapa dia tidak boleh mempelajari kitab sucinya? Pernah Kartini menanyakan mengenai makna bacaan Al-Qur’an pada ibunya, namun ibunya melarangnya untuk mengetahuinya. Ibunya berkata bahwa Al-Qur’an itu suci, tidak boleh diartikan, tidak boleh dipelajari, hanya boleh dibaca dengan indah. Mengartikan ayat AlQur’an adalah sebuah dosa besar karena dianggap menodai tulisan suci tersebut dengan tulisan manusia biasa. Ini jelas tidak sesuai dengan akal sehat Kartini. Buat apa islam punya kitab suci kalau isinya tidak dimengerti oleh pengikutnya? Kalau kitab sucinya tidak boleh dipelajari, apa bedanya dengan buku mantra?

Singkat kata, Kartini akhirnya menemukan guru agama yang mau mengajarinya arti ayat-ayat AlQur’an, bukan sekedar mengajarkan untuk membacanya dengan indah. Guru ini adalah Kyai Soleh Darat. Beliau bersedia mengajarkan arti setiap kata dalam AlQur’an dan kemudian mengajarkan maknanya. Beliau juga menghadiahkan sebuah AlQur’an untuk Kartini. Setelah mempelajari AlQur’an, Kartini semakin yakin bahwa perjuangannya ada di jalan yang benar.

Al-Qur’an mengajarkan kesetaraan di antara seluruh manusia tanpa peduli kasta, suku, dan jenis kelamin. Ini sesuai dengan kata hati Kartini untuk memperlakukan setiap orang dengan sederajat. Kartini tidak pernah mengedepankan ego kebangsawanannya untuk disembah oleh rakyat jelata, kata hatinya lebih penting daripada sekedar ego. Al-Qur’an juga mengajarkan untuk berbakti kepada kedua orangtua, terutama pada ibu, yang berderajat tiga tingkat di atas ayah. Ini semakin mendukung kata hati Kartini untuk berbakti pada ibunya. Dan satu lagi makna ayat Al-Qur’an yang menggugah hatinya, bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban setiap manusia, baik lelaki maupun wanita. Ini kemudian menjadi landasan bagi logika Kartini selama ini bahwa wanita pun sama berhaknya untuk menuntut ilmu.

Berangkat dari Al-Qur’an, Kartini pun melanjutkan perjuangannya melalui tulisan-tulisan yang dibantu publikasinya oleh teman-teman eropanya. Melalui tulisan-tulisannya, Kartini hanya ingin melakukan advokasi untuk pengadaan pendidikan bagi kaum wanita di sekitarnya. Bagi seorang wanita yang diharamkan bersekolah oleh adat rumahnya, ini merupakan tindakan yang cerdas. Di masa tersebut, mungkin hanya Kartini yang mampu melakukan demikian. Bagi wanita modern seperti kita, itu hal sepele yang sangat mudah, tapi tidak dengan Kartini. Hanya karena mencetuskan ide pendidikan bagi wanita, Kartini dikucilkan oleh keluarganya sendiri, dihina, dicaci, bahkan dihukum dengan kurungan rumah. Adat kolot yang sedemikian ketat tersebut telah membutakan hati dan logika keluarganya.

Kartini sudah paham bahwa seorang muslim tidak boleh mencari teman kepercayaan seorang non muslim, tapi pada saat itu, hanya teman-teman eropanya yang mampu menolongnya. Walau hanya membantu publikasi ide, tapi jasa mereka telah memberikan peran besar dalam mewujudkan ide-ide Kartini. Dengan kekuatan media cetak pada masa itu, akhirnya advokasi pendidikan yang dicetuskan Kartini pun menuai hasil, tidak ada lagi adat yang melarang wanita bersekolah.

Sayang sekali perjuangan advokasi pendidikan wanita yang berdasarkan ayat Qur’an ini sedikit terpelintir oleh sejarah. Teman-teman eropanya yang tidak mengenal islam itu hanya mengenal istilah emansipasi dan feminisme untuk perjuangan Kartini, mereka tidak paham mengenai islamisme. Jadilah perjuangan Kartini tersebut dideskripsikan sebagai emansipasi, padahal bagi yang membaca kisahnya, tindakan Kartini lebih tepat dikatakan sebagai islamisasi. Sayangnya, tidak semua yang paham islam mau membaca kisah Kartini, dan tidak semua yang membaca kisah Kartini pun paham islam.

Tidak jarang orang-orang percaya bahwa Kartini adalah bibit feminisme Indonesia. Dan mereka yang percaya, ada yang membandingkan dengan Dewi Sartika atau Rohana Kudus. Mereka tidak menerima bahwa Kartini memiliki jasa yang setara dengan kedua tokoh tersebut. Kaum anti-feminisme ini seringkali beranggapan Dewi Sartika lebih berjasa daripada Kartini. Alasannya yaitu karena di saat Kartini baru bisa menuangkan konsep ke media cetak, Dewi Sartika sudah bisa membangun sekolah.

Sekarang saya mau mengajak untuk melihat kedua pahlawan tersebut dari perspektif berbeda. Dewi Sartika lahir sebagai pribumi di tanah yang menjunjung adat setempat, dalam hal ini, Kartini juga sama. Tapi satu hal yang berbeda, adat di tanah kelahiran Dewi Sartika, tidak melarang wanita untuk bersekolah. Adat yang dijunjung oleh masyarakat disana adalah adat yang memperlakukan lelaki dan wanita sebagai makhluk hidup yang sederajat, hanya tugasnya yang berbeda. Tidak ada istilah bahwa wanita hanya sandal di siang hari dan selimut di malam hari karena adat disana menghormati wanita dan lelaki dengan sama besarnya. Dewi Sartika sendiri sudah bersekolah sedari kecilnya. Yang disayangkan oleh Dewi Sartika adalah ketiadaan sekolah yang didirikan oleh pribumi, hanya ada sekolah yang didirikan oleh pihak Belanda. Yang saat itu diperlukan oleh lingkungan Dewi Sartika adalah inisiatif pendirian sekolah, bukan revolusi kekolotan adat. Disinilah yang menurut saya menjadi kelebihan perjuangan Kartini : revolusi kekolotan adat. Dewi Sartika bisa dengan mudah mendapatkan dukungan bagi inisiatifnya untuk menyekolahkan wanita, tapi tidak dengan Kartini yang mendapatkan penolakan keras atas dasar penjunjungan adat.

Dasar perjuangan Kartini sendiri bukanlah dari feminisme eropa melainkan dari Al-Qur’an. Judul bukunya “habis gelap terbitlah terang” terinspirasi dari surat Al-Baqarah ayat 257 mengenai Allah yang menunjuki manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ayat yang diturunkan dalam makna bahwa kebodohan kaum jahiliyah adalah kegelapan dan ilmu islam adalah cahaya. Ayat ini sangat mengena bagi Kartini yang merasa selama ini terjebak dalam kegelapan berupa adat kolot namun segera mendapatkan cahaya ketika melaksanakan perintah Allah untuk mencari ilmu. Inilah motivasi sebenarnya dari seorang Kartini, tanpa embel-embel emansipasi atau feminisme. Kartini tidak berharap bangsa Indonesia bersemboyan “wanita selalu benar”, beliau hanya berjuang agar kita tidak hidup dalam taqlid adat melainkan hidup dengan logika di atas ego.

Jadi, kenapa harus Kartini yang kita peringati setiap tahunnya? Bagi saya, ini karena perjuangan Kartini sebenarnya adalah perjuangan mencerdaskan bangsa, bukan perjuangan ego manusia untuk berebut kekuasaan. Karena Kartini yang menyadarkan bangsanya bahwa kitab suci yang dipahami dengan baik adalah jalan menuju pencerdasan kehidupan bangsa. Dan karena Kartini pula, bangsanya sadar untuk meletakkan logika di atas ego.

Add a comment

Related posts:

Minter 1.2

Minter 1.2 functionality is in the final stages of development. We’re now working on adapting the services, SDKs, and applications. Many projects do not hurry to create their own coin on the Minter…

Nothing to Lose

Arcade games in amusement centres can be a very expensive form of finding enjoyment. The social aspect of meeting up at these venues causes exposure to gambling and potential money loss. The constant…

Numb

Numb is not an absence of feeling, it is the absence of will, the blurring lines between hot coffee and iced water, the unchanging tone between sunrise and sunset, where my cardigan feels like his…