On the fabric of reality.

The fabric of all reality is composed of vibrations of energy. Each unique to its own composition and frequency. Any experience that we perceive through our senses is a vibration. All vibrations are…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Serapuh

Mengindahkan beberapa kerumunan kecil. Mengumpat sepuasnya. Menciptakan kuasa selengahnya. Bagus. Mari dimulai dari sini. Notice. Mudah membenci, merajam perihal apapun yang memperkeruh segelas dahaga. Ada cara yang lebih bajik, sopan dan rapi. Bukan urakan, asu jancok bajingan. Dari beberapa muara, dengan resolusi yang tidak seberapa, aku menarik diri. Jangan mendekat jika mau selamat. Sedari dini sudah meraba beberapa kemungkinan pucat pasi. Semua orang baik. Hanya kita yang mau menilai apanya dan bagaimana. Akan berbeda cerita jika melempar notice yang lebih feelingable ketimbang urakan. Mungkin saling belum mengenal seluk beluk. Mungkin sama sekali enggan mau tau. Mungkin mungkin mungkin. Ah! Cukup. Pedih rasanya membendung mata air, jengkel sebab diri sendiri malah diasuh emosi. Merajam apapun kemudian menarik diri ke meja lain. Mereka tertawa di meja sebelah, aku memungut sepi mereka. Tidak peduli bisik-bisik yang dilayarkan. Tidak peduli dengan panggil dan sapa yang pura-pura. Basi sekali. Kemudian tadi lelaki meminjam ponselku. Dia mempertegas sesuatu. Ya, aku melampaui batas. Lelaki benar dan aku mengakui. Mungkin entah kapan aku tiada sungguh dan singgah lagi. Minggu depan segera dimulai. Aku kembali dingin, kaku, dan kecut pasi. Kabar baiknya memang diperingatkan dengan baik, kabar buruknya aku diperburuk dengan sosok perempuan jilbab hitam di pojok kedai. Sebelumnya pun aku tidak betul-betul dalam keadaan baik. Aku dipepet secara psikologis, diancam secara sosial, dihantam kenyataan. Buruk. Buruk sekali. Semesta enggan mendekapku. Barangkali sebab aku sedang tidak relevan lagi dengan Yang Maha.

“Kurang-kurangi lah sikapmu itu. Nggak baik.” aku paling jujur ketika sedang enggan dengan seseorang. Bukannya tidak menghargai, aku punya hak untuk tidak membohongi diriku sendiri. Toh setiap bias mengandung apinya masing-masing. Atau seperti ketika seseorang menyinggung orang lain. Sekecil apapun itu, kita tidak pernah tau seberapa besar akibat yang ditimbulkan dalam jiwa seseorang, bukan? Kadang kita harus membakar diri demi memberi tanda bahwa kita ada meski cahaya yang kita kilaukan redup. Kadang kita harus membasuh meski dengan tangan yang kotor. Kadang kita harus mengangguk ramah padahal jiwa kita menolak hebat. Memang hidup begini adanya. Aku senang dapat banyak berwisata perasaan. Setidaknya kini lebih mudah mencegah sebab lidah sudah menyecap bagaimana rasanya. Perempuan pembawa duka berpakaian hitam, berkaca mata di pojok kedai. Sekali saja kupandang ia dari kejauhan siang hari. Barisan mimpi buruk mengantri di kepala menunggu waktu. Aku kalah jauh. Kemudian aku membalikkan badan, memunggungi mereka yang jiwanya sedang melebur semesta. Malam sebelum kepulangan, perempuan tersebut sempat menghampiri mejaku dengan kekasihnya itu. Berjabat tangan dengan semuanya, kecuali aku. Kupikir aku memang sudah kontras sebelumnya. Aku benci sekali hari itu, sungguh. Segala hal yang aku tolak kehadirannya malah bertamu susul menyusul seperti gelombang. Beruntung, aku tidak menghujan sama sekali di kedai kopi.

Setelah mengantar perempuan pembawa duka, kekasihnya duduk di meja belakangku. Tidak lama kemudian ia duduk di sisiku. Lahap menyantap sepiring nasi dan segelas es teh. Ia hanya bilang, “makan.” Sembari bersikap menawarkan. Aku tidak melirik karsanya sama sekali. Ia mengenakan pakaian apakah, aku juga tidak peduli. Wajahnya seperti apa, pun aku tidak peduli. Selesai makan ia seperti biasanya, asik dengan ponsel dan rokok. Sedari awal ia duduk, aku memasang punggung lebar-lebar. Seorang penyair harusnya sangat memahami perihal semacam itu. Entah bagaimana, tidak sampai lima belas menit ia menarik diri. Aku tertawa kecut dalam hati.

Jangan-jangan selama ini aku yang salah. Menerka, memahami, mengerti semua hal dengan hati, bukan dengan kepala. Bukan masalah jenis kelaminku apa, tapi kupikir memang sikap yang dilabuhkan padaku terlampau berlebih untuk seseorang yang jelas-jelas dalam waktu dekat hendak mempersunting seorang perempuan. Redam. Bungkam. Aku akan tiada menghiraukan gelagatnya sama sekali, sungguh. Aku bekerja sama dengan limit yang kumiliki agar sementara meniadakannya sama sekali di mana-mana. Di bias malam. Di kursi dan meja tanya harian. Di selokan kepala. Di bilik narasi kehilangan.

Selamat menemui kekosongan kembali. Selamat menjadi apapun. Aku tiada menunggu uraian puisi dan aksara. Sampai kemarin, sudah sangat cukup. Boleh jadi selimutku masih memeluknya tiap malam, tapi jiwaku tidak. Kupikir mungkin selama ini ia terlampau kesepian. Introvert memang tidak mudah mendapatkan teman bicara. Dia yang datang kemudian kupersilakan bertamu dengan ramah. Orang dewasa terlampau banyak menerka tanpa suara. Sedikit sekali yang sudi berdiskusi dengan loss ra rewell. Dingin. Kemudian berlalu seiring dengan waktu. Kami asing, kenal, dekat, kemudian terasing kembali. Ia banyak menikahi kata-kata tapi tidak menyetubuhinya.

Add a comment

Related posts:

Decentralized Exchanges Are Disrupting Centralized Exchanges

The cryptocurrency industry keeps growing by the day, bringing in new and institutional investors alike trading with the world to magnify their portfolio. In the beginning, it was hard to buy in…

How To Win Any ML Contest

Hoping to win a machine learning competition in 2021? Here’s what you need to know. I collaborated with ML Contests, using their database of over 100 competitions that took place in 2020 across…

Can technology predict the future?

Hundreds of researchers were challenged to predict the future of a group of children using a database collected over 15 years and machine learning methods. Despite the infinity of information and…